Archive

Monthly Archives: November 2021

W gagal seleksi beasiswa LPDP 2 kali, 22nya di tahapan wawancara. Udah agak lawas sih pengalaman ini, yang pertama di Oktober 2016, lalu di Q1 tahun 2017. Tapi berhubung ku masih suka keingetan (butthurt peeps where u at), dan sekarang lagi musim-musimnya per-LPDP-an lagi setelah sempet vakum, jadi mungkin aku bisa berbagi tips n trik tentang how to not answer interview questions – and how I should have answered them instead.

Percayalah bahwa kalian emang harus, harus, harus, harus banget latihan interview, karena nggak semua orang punya bakat menjadi manusia diplomatis yang semua jawaban itu enak didengar dan bisa bikin yang nanya manggut-manggut setuju dan agak terkesima. Aku? Bukan sama sekali. Terlalu jujur, terlalu straightforward, apalagi sebagai anak freshgrad yang polos dan merasa bahwa ah yaudahlah interview itu jawab seasli-aslinya aja. Tapi tetep aja ye, setelah mempersiapkan diri sedemikian rupa pasca kegagalan pertama, pas udah merasa yakin bisa jawab semua pertanyaan yang mungkin keluar, begitu pantat menyentuh permukaan kursi dan interviewer membuka mulut, yang keluar adalah pertanyaan yang aku gak sangka sama sekali 🙂 Super doomed from the start.

Kalau sekarang inget-inget lagi, ya kayanya emang gaada alasan lebih acceptable lagi bahwa LPDP emang bukan jalanku aja.

Sebelum kamu tutup window blog ini karena menganggap aku mungkin gak berkapasitas untuk berbagi tips-tips interview, keep in mind that I can also tell you about what not to say. Man, I trained for 1+ year for my essays and my interviews, with many people and a lot of improvements. Pun akhirnya aku akhirnya dapet beasiswa juga (alhamdulillah) dari TU Delft. Oke tanpa berlama-lama lagi, berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang masih kuingat.

Kamu kan mau ambil tentang kewirausahaan dan bisnis, kenapa ngga ambil di Prasmul aja?

Aku pun terdiam. Asli nggak latihan jawab pertanyaan ini. Jawabanku waktu itu kurleb begini: Oh… Prasmul Pak? Jujur saya ngga riset tentang kampus di dalam negri sih Pak. Kalau di Indonesia yang saya tau untuk manajemen dan kewirausahaan yang di ITB aja.

Jawaban yang jelek banget. Menurutku, pertanyaan ini adalah rephrase dari “Kenapa kamu harus sekolah ke luar negeri?” Jadi yah, dari pertanyaan pertama aja kayaknya aku udah fail.

Jadi, ketika ditanya seperti ini, fokuslah ke kenapa kamu harus keluar negeri, dan bukan tentang kenapa kamu ngga bisa sekolah di dalam negeri. Mau bawa-bawa ranking? Menurutku kurang oke ya kalau itu adalah the only thing that you came up with ketika ditanya kenapa kamu harus sekolah di LN dan nggak di DN. Karena one can argue that the knowledge you gain in a local university would ultimately be more relevant. Kenapa harus jauh-jauh ke Amerika/Eropa kalau kamu bilang kamu mau bantuin UMKM?

Setelah dipikir ulang, jawaban berikut ini kayaknya akan lebih cakep:

“Saya mau belajar di KTH karena disana mereka punya riset (xxx), dan profesornya juga Excel di bidang itu. Ada lab yang fokusnya di bidang (xxx), dan saya mau ngembangin riset saya disana. Selain itu, belajar di LN itu nggak cuma tentang ilmu yang didapetin di dalam kelas, tapi juga tentang networking. Kalau saya lanjut di Swedia, maka saya akan bisa ketemu sama banyak orang dari berbagai negara, supaya hopefully bisa bertukar ide juga. Siapa tau ada yang bisa direplikasi di Indonesia.”

Ya you get the idea: jangan menjatuhkan institusi lokal, fokus ke kelebihan si kampus/negara yang kamu tuju, fokus ke apa yang ada disana dan ngga ada disini, state dengan jelas apa purpose kamu mau sekolah disana (mau riset apa? mau ngerjain apa? mau belajar apa?) – be descriptive.

Kenapa kamu ngambil program yang setahun?

Ini juga aku gak nyiapin dan gak kepikiran. Terus gelagapan. Asli lupa jawabannya apa, cuma kayanya muter-muter dan gajelas juga. Akupun jujur gatau apa ya maksud dan tujuan dari dia nanya gini. Karena secara cost benefit kan bisa langsung ketauan dong kalau costnya akan lebih murah daripada bayarin orang yang sekolah 2 taun, apalagi yang ke Amerika.

Berikut jawaban yang kayaknya lebih bijak dan acceptable:

“Saya nggak terlalu mempermasalahkan tentang durasi waktu sih Pak/Bu, saya pure lihat dari silabus yang ditawarkan oleh kampus. Kebetulan saja program yang saya pilih itu durasinya setahun. Kalau waktunya makin singkat, saya rasa akan semakin baik juga, karena itu berarti saya bisa lekas kembali ke Indonesia. Selain itu, secara finansial juga program setahun itu lebih sedikit biayanya dari program yang 2 tahun, jadi bisa dibilang bahwa lulusan program setahun itu value-for-money.”

Pintar-pintarlah memberikan jawaban yang akan ngasih impresi baik ke interviewer. Kalo kamu perhatiin, sebenernya ini adalah teknik reframing. Si interviewer nanya dari perspektif waktu, tapi jawaban yang ku-craft di atas itu menegaskan apa yang penting buatku. Bukan di durasi program yang cuma setahun, tapi di apa yang akan aku gain di program itu. Show them what’s important for you.

Kamu ikut KKN ga?

Ini mungkin pertanyaan yang kujawab dengan jawaban tergoblok sedunia. Huft. Jangan ditiru. Fyi, kalau di ITB itu KKN nggak wajib, tapi berupa matkul pilihan yang dikerjain pas lagi libur naik tingkat. Jawabanku? Jengjeng, jangan di judge yah. Simply masih bodoh aja:

“Karena nggak wajib Pak.”

🙂

Cerdas. Kebayang sih kejulidan jari netizen, mungkin dalam hati para interviewer ini bilang “Oh? Kalo ga wajib kamu gaakan bantu orang? Gaakan berkontribusi?”

Berikut adalah jawaban yang lebih waras untuk diberikan:

“Saya nggak ikut KKN pak, karena kalau di ITB KKN itu dilaksanakan saat libur kenaikan tingkat, sedangkan saya sendiri memilih untuk mengikuti kegiatan orientasi dengan menjadi mentor dari anak-anak baru, juga orientasi jurusan karena saya adalah salah satu pengkader. Melalui program orientasi ini, saya bisa bantu anak-anak baru dan juga menurunkan nilai-nilai organisasi. Kalau untuk kontribusi ke masyarakat sendiri, saya juga ikut melaksanakan kegiatan comserv dan comdev di himpunan, yang dilaksanakan di weekend.”

Ya intinya, kasih jawaban yang diplomatis. Sebenernya ada lagi sih jawaban lanjutanku yang lebh fail lagi HAHA tapi terlalu memalukan untuk diketik disini jadi biarlah itu menjadi rahasia. Cuma ya, lagi-lagi kalau emang kamu ga ikut KKN, carilah alasan kegiatan lain yang acceptable, yang juga nunjukin kalo kamu bukan manusia mageran, tapi ya simply you have better things that you’re more interested in doing. Plus tambahin aja detil kalau kamu juga mengabdi kok, cuman gak melalui program KKN.

Seberapa yakin kamu akan diterima di program ini?

Konteks, ini adalah wawancara keduaku, dan tahun kedua aku harus re-apply ke universitas di Swedia karena mereka nggak mengenal konsep deferral (mundurin acceptance ke tahun depan). Jadi aku harus apply dari awal lagi.

Jawabanku? “Karena tahun lalu saya diterima Pak.”

Bodoh, bodoh, bodoh. Kepedean tak berdasar. Kalau taun lalu keterima terus emangnya taun ini bakal diterima? Menurutku, tak usahlah bahas-bahas histori pendaftaran karena takutnya backfire sepertiqu.

Jawaban yang boleh dicoba:

“Untuk syarat pendaftaran sendiri saya sudah menyiapkan sebaik mungkin Pak, ada tes bahasa, motivation letter, recommendation letter, dan juga CV. Secara akademik, saya pass minimal requirements yang mereka tetapkan, IELTS saya lebih dari cukup, dan untuk motivation letter saya sudah berusaha sebaik mungkin, dibantu proofreading juga oleh teman-teman. Jadi mudah, mudahan saya bisa diterima tahun ini :)”

Tetap humble, dan fokus aja sama persiapan apa saja yang udah dikerjain untuk apply. Jangan kepedean (btw funfact, masa pas tahun kedua aku apply ternyata aplikasiku direject ðŸĪŠðŸĪŠðŸĪŠ terus aku ngajuin banding, bilang kok aku ga diterima? Terus akhirnya direvisi dan aku jadinya diterima sih -,-) -> intinya, kalau mau protes ke admission office, proteslah karena mereka akan menanggapi. Dan jangan mendahului takdir juga WQWQ tau aja si Bapak ternyata w ga diterima.

Jujurly, kayaknya masih ada deh beberapa pertanyaan yang w jawab dengan bodoh, tapi lagi gak inget. Nanti kalau aku inget lagi insyaAllah akan kutambahkan disini deh.

Selamat berlatih 😉

**

Oh anyway, fun story as a bonus for you who have read this til the end:

Di mid-2018 aku sempet ada sosialisasi program gitu, dan yang dateng adalah bapak/ibu dosen dari beberapa universitas di Bandung. Pas aku lagi duduk, ada ibu-ibu di sebrangku, dia kaya ngeliatin aku terus gitu. Pas lagi istirahat, si ibu pun membuka pembicaraan: “Kita kayanya pernah ketemu ya?”

Aku, yang emang susah ngafalin muka orang apalagi kalau cuma 1-2x ketemu doang, gak inget siapa beliau. Jadi aku jawab: “Oh iya Bu? Di acara Kemenristek mungkin ya?”

“Bukan, bukan… Saya dulu yang interview kamu pas LPDP. Kamu yang bapaknya wirausaha itu kan? Gimana sekarang? Udah pulang?”

Kalau waktu itu w belum dapet beasiswa gatau deh gimana rasanya dengerin si ibu ngomong gitu ðŸ˜Ķ W bilang aja, “Oh ngga Bu, saya gak dapet LPDP. Dua kali nyoba nggak keterima.”

Terus si ibunya jadi gaenak, jadi aku lanjut bilang kalau aku udah dapet beasiswa dari tempat lain dan akan berangkat Agustus tahun itu.

Jujur puas banget bisa ngomong gitu 🙂